Penggerak Gerakan Sekolah Menyenangkan Jawa Timur
Aktivis PMII FKIP Universitas Jember
Di tengah derasnya perubahan zaman, pendidikan Indonesia 2025 justru memperlihatkan wajah optimisme. Perubahan kurikulum, inovasi teknologi, hingga perhatian serius pada gizi anak bangsa menandai bahwa negeri ini sedang bersungguh-sungguh menyiapkan generasi masa depan. Dan di pusat semua itu, ada sosok guru sebagai motor penggerak yang memberi nyawa pada setiap kebijakan.
Kurikulum Merdeka: Ruang Kreasi yang Membebaskan
Kini lebih dari 80% sekolah di Indonesia sudah menerapkan Kurikulum Merdeka. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan bukti bahwa pendidikan kita mulai melangkah ke arah yang lebih fleksibel, humanis, dan sesuai kebutuhan zaman.
Banyak kisah guru yang berhasil mengubah ruang kelasnya menjadi laboratorium kehidupan. Misalnya, di Jember, sekelompok guru SMP memanfaatkan proyek pembelajaran untuk membuat peta digital potensi desa bersama murid. Anak-anak tak hanya belajar geografi, tetapi juga memahami budaya lokal dan mempraktikkan literasi digital.
Inilah bukti nyata bahwa ketika guru diberi ruang, kreativitas dan pembaruan segera lahir.
Teknologi Pendidikan: Dari Kesenjangan Menuju Kesempatan
Memang benar, tantangan digitalisasi masih ada. Tetapi langkah kecil menuju pemerataan sudah mulai terasa. Platform Merdeka Mengajar kini diakses lebih dari 3 juta guru, memungkinkan mereka belajar mandiri dan saling berbagi praktik baik.
Laporan World Bank (2024) menunjukkan peningkatan signifikan: literasi digital guru naik 15% dalam dua tahun terakhir, terutama di sekolah yang mengikuti program Guru Penggerak. Artinya, transformasi digital bukan lagi mimpi di atas kertas, melainkan kenyataan yang mulai membumi.
Gizi dan Kesehatan: Investasi Serius untuk Masa Depan
Program Makan Bergizi Gratis yang mulai diluncurkan tahun ini memberi sinyal kuat, negara hadir bukan hanya dalam kurikulum, tetapi juga dalam kebutuhan dasar anak. Dengan anggaran yang masif, pemerintah berkomitmen mengurangi stunting dan memastikan setiap anak mampu belajar dengan perut kenyang dan tubuh sehat.
Kita sering lupa bahwa prestasi belajar tidak hanya ditentukan oleh kualitas guru atau metode, tetapi juga oleh kondisi fisik dan psikis anak. Dengan langkah ini, Indonesia sedang menyiapkan fondasi manusia unggul sejak dini.
Peran Guru: Dari Pengajar ke Penggerak
Semua kebijakan canggih tak akan berarti tanpa guru. Namun kabar baiknya, jumlah Guru Penggerak terus bertambah pesat, mencapai lebih dari 70 ribu orang pada 2025. Mereka bukan hanya pengajar di kelas, tetapi fasilitator yang membimbing murid menemukan minat, bakat, dan cita-citanya.
Di berbagai daerah, saya menyaksikan langsung bagaimana guru yang tergabung dalam Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) bertransformasi mengubah ruang kelas dari tempat yang kaku menjadi lingkungan yang ramah, penuh dialog, dan menyenangkan.
Dampaknya nyata, anak lebih betah di sekolah, guru lebih termotivasi, dan orang tua mulai kembali percaya pada pendidikan sebagai jalan mobilitas sosial.
Dari Tantangan ke Peluang
Masih adanya masalah mengenai ketimpangan akses digital, kesenjangan mutu antarwilayah, hingga pemangkasan anggaran di beberapa sektor. Tetapi kita juga harus jujur bahwa sejarah pendidikan Indonesia selalu tumbuh dari keterbatasan.
Jika dulu Ki Hajar Dewantara membangun Taman Siswa dengan segala kesederhanaannya, kini guru memiliki perangkat digital, jaringan komunitas, dan dukungan kebijakan yang lebih terbuka. Tugas kita adalah menjadikan setiap tantangan sebagai peluang untuk berinovasi.
Optimisme yang Menular
Pendidikan Indonesia sedang berada di persimpangan yang menentukan. Kita bisa terjebak dalam narasi pesimis, atau memilih melihat geliat positif yang sudah tumbuh. Saya memilih yang kedua.
Karena setiap kali saya bertemu guru di pelosok Bondowoso, Jember, atau Situbondo, saya melihat api optimisme yang sama yakni keinginan untuk mengubah ruang kelas menjadi ruang harapan.
Maka mari jadikan 2025 sebagai tahun optimisme pendidikan. Guru bukan sekadar pelaksana kurikulum, melainkan penggerak harapan bangsa. Dengan hati yang ikhlas, semangat kolaboratif, dan keyakinan bahwa setiap anak berhak bahagia belajar, kita bisa menyalakan cahaya pendidikan Indonesia ke panggung dunia.
0 Komentar