Sekolah Rakyat dalam Bayang Populisme: Risko Herlambang Kritik Terselubung terhadap Program Emosional-Teknis Tanpa Emansipasi


Jember, 9 Juni 2025 – Dalam lanskap kebijakan pendidikan yang semakin diwarnai oleh sentimen populisme, Risko Herlambang—mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Kampus Serang sekaligus Koordinator Wilayah II Ikatan Mahasiswa PGSD Indonesia (IKMA PGSD)—melontarkan kritik konseptual yang tajam terhadap program “Sekolah Rakyat”. Meskipun tidak menolak secara eksplisit, Risko menampilkan penolakan tersirat berbasis argumentasi filosofis dan historis atas kegagalan paradigma pendidikan yang tidak membebaskan.

Dalam sebuah forum grup diskusi bertajuk “Pendidikan Emansipatoris atau Romantisasi Kemiskinan” di Universitas Jember, Risko menyampaikan keprihatinannya bahwa program ini mengulangi pola pendekatan karitatif—yakni memberi tanpa mengubah. Ia menilai bahwa Sekolah Rakyat dirancang dengan tergesa-gesa, tanpa kerangka epistemologis yang kuat dan tanpa peta jalan jangka panjang yang berbasis pada keadilan struktural.

“Kita melihat pola pengulangan dari program-program sebelumnya—seperti MBG—yang hanya bersandar pada moralitas instan dan politik elektoral. Sekolah Rakyat ini tidak lahir dari analisis kritis akan ketimpangan struktural, tapi dari dorongan goodwill yang bersifat simbolik,” ujarnya.
Menurut Risko, program ini merupakan warisan lama dalam bungkus yang baru. Sekolah Rakyat justru mereproduksi relasi kuasa lama: si terdidik sebagai penyelamat, dan si miskin sebagai objek. Ini selaras dengan kritik Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, bahwa pendidikan tidak bisa hanya menjadi proses deposito pengetahuan dari kelas elite ke kelas bawah, melainkan harus menjadi praxis—yakni refleksi kritis yang membebaskan melalui aksi kolektif.

“Jika yang dibangun hanya ruang belajar darurat dengan label ‘kerakyatan’, tanpa memberi ruang pada kesadaran kritis, maka program ini tak lebih dari estetika kemiskinan. Kita dibuat tersentuh, bukan tercerahkan,” tambahnya

Dalam tataran praksis, Risko menilai bahwa program-program berbasis belas kasihan—betapapun niatnya baik—tidak akan pernah bisa menjawab pertanyaan struktural: mengapa ketimpangan terjadi, siapa yang diuntungkan oleh kebodohan, dan bagaimana sistem pendidikan kita telah gagal menjadi alat demokratisasi sosial.

Risko secara implisit mengaitkan lahirnya Sekolah Rakyat dengan lanskap politik mutakhir di bawah pemerintahan terpilih. Ia mengamati bagaimana narasi ‘kerakyatan’ digunakan sebagai legitimasi kebijakan yang pada dasarnya tidak mengubah struktur ketimpangan. Dengan merujuk pada teori Ernesto Laclau tentang populisme, Risko menyebut bahwa “rakyat” dalam proyek-proyek seperti ini hanyalah efek diskursif—bukan subjek politik yang sejati.

“Kita sedang berhadapan dengan populisme edukasional. Proyek-proyek ini sekadar menciptakan kesan bahwa negara hadir, padahal justru mengaburkan relasi kuasa yang timpang. Pendidikan, dalam konteks ini, hanya menjadi ‘kulit’ dari kehadiran palsu negara,” jelasnya.

“Tugas kita bukan menyalurkan simpati, melainkan mengorganisasi rakyat untuk menjadi subjek yang sadar, reflektif, dan berdaya. Kalau Sekolah Rakyat tidak bergerak ke arah itu, maka ia tak lebih dari panggung romantisasi kemiskinan dalam format pedagogis,” tutup Risko.

Posting Komentar

0 Komentar