IRONI PENDIDIKAN INKLUSIF: SLBN DIBONGKAR DEMI SEKOLAH RAKYAT?

 

Oleh: M. Awaidil Fikri

Portalcerdas, opini- Pendidikan inklusif adalah pendekatan sistem pendidikan yang menempatkan semua anak tanpa terkecuali, mendapatkan akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas dalam lingkungan belajar yang sama. Pendidikan inklusif merupakan salah satu program dari Bapak Prabowo selakau Presiden Republik Indonesia saat ini. Konsep pendidikan inklusif yang diusulkan Prabowo bernama Sekolah Rakyat. Namun, dalam pelaksanaan Sekolah Rakyat, muncul beberapa kebijakan dan kontroversi. Salah satunya, SLBN A Pajajaran akan dibongkar untuk membangun sekolah rakyat.

Ketika banyak masyarakat menyambut semangat pemerataaan pendidikan melalui pembangunan Sekolah Rakyat, sebuat ironi justru muncul. Salah satu Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) justru dibongkar demi mewujudkannya. Padahal, SLBN adalah fondasi utama dalam memberikan hak pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Di satu sisi, pemerintah menggaungkan pendidikan inklusif dengan membangun Sekolah Rakyat, namun di sisi lain, sebuah fasilitas khusus yang menjadi ruang aman bagi anak-anak berkebutuhan khusus justru dikorbankan. 

Hal ini menjadi pertanyaan besar, benarkah kita sedang mendorong inklusivitas, atau justru menyingkirkan mereka yang paling membutuhkan perhatian? Inklusivitas yang semestinya melibatkan semua, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, atau emosional. Namun, pembongkaran SLBN A Pajajaran justru mengingkari prinsip ini. Anak-anak berkebutuhan khusus yang sebelumnya memiliki ruang belajar yang aman dan sesuai kebutuhan kini kehilangan tempat mereka. 

Bagi mereka, bukan hanya sekadar bangunan yang hilang, melainkan akses terhadap pendidikan bermakna dan layak. Tidak hanya itu, para guru dengan keahlian khusus juga akan terancam kehilangan tempat mengajar, dan orangtua peserta didik pun akan kebingungan mencari alternatif sekolah yang sepadan. Ini adalah dampak rill yang sering kali terabaikan ketika pembangunan terlalu fokus pada aspek kuantitatif tanpa mempertimbangkan kebutuhan minoritas.

Pembongkaran SLBN A Pajajaran adalah salah satu bukti nyata dari minimnya partisipasi publik dalam proses perumusan program ini. Komunitas penyandang disabilitas, organisasi pendidikan khusus, dan orangtua peserta didik seakan tidak diberi ruang untuk menyuarakan aspirasinya. Kebijakan yang diambil secara top-down tanpa analisis dampak sosial malah berisiko menciptakan ketimpangan baru. Alih-alih inklusif, program ini cenderung ekslusif terhadap kelompok rentan (anak berkebutuhan khusus). Pendidikan inklusif tidak bisa dijalankan dengan membongkar fasilitas bagi kelompok yang paling membutuhkan. Ironi ini harus disadari bersama sebelum terlambat. Pemerintah dan masyarakat perlu duduk bersama guna menyusun strategi yang benar-benar berpihak pada semua.  

Inklusif bukan hanya soal membangun sekolah untuk semua, tetapi memastikan tidak ada yang dikorbankan dalam prosesnya. Jika kita tidak bisa memberi ruang bagi anak-anak yang paling rentan, apakah kita benar-benar sudah inklusif?

Posting Komentar

0 Komentar